IndonesiaIntl.com / Sidoarjo – Gempa bumi berkekuatan magnitudo 6,5 yang berpusat di Sumenep, Jawa Timur, pada Rabu malam 1 Oktober 2025, terasa kuat hingga Sidoarjo dan memperburuk kondisi di lokasi reruntuhan Pondok Pesantren Al Khoziny yang sebelumnya ambruk saat pembangunan lantai tambahan.
Kepala tim SAR, Mohammad Syafii, menjelaskan bahwa getaran gempa membuat puing semakin rapat dan berbahaya. “Kalau sebelumnya ruang di antara reruntuhan bisa mencapai 50 sentimeter, sekarang tinggal sekitar 10 sentimeter. Ini membuat kemungkinan korban selamat semakin kecil,” ujarnya.
Tim penyelamat sempat menghentikan sementara operasi evakuasi karena risiko runtuhan tambahan. Penggunaan alat berat sangat terbatas karena dikhawatirkan menimpa korban yang masih terjebak di dalam reruntuhan.
Warga sekitar Sidoarjo melaporkan rumah-rumah mereka ikut berguncang hebat. Beberapa dinding retak, dan atap bangunan tua mengalami kerusakan ringan. Fokus utama tetap pada lokasi ponpes runtuh, yang kondisinya semakin kritis setelah gempa.
Sejumlah relawan menyalurkan oksigen dan air ke celah-celah sempit agar korban tetap bertahan. Alat seperti kamera termal dan sensor getaran kecil digunakan untuk mendeteksi tanda-tanda kehidupan.
Kejadian ini memunculkan kritik terhadap lemahnya pengawasan konstruksi di Indonesia. Bangunan ponpes diketahui sedang menambah lantai tanpa fondasi memadai. Pembangunan tanpa standar teknis, tanpa audit struktur, dan tanpa izin ketat membuat banyak gedung rapuh terhadap bencana alam.
Seorang pengamat konstruksi di Surabaya menekankan, “Di banyak daerah, orang membangun seenaknya. Tidak ada lembaga yang benar-benar tegas memastikan standar dan kualitas bangunan.”
Operasi penyelamatan diperkirakan akan berlangsung lebih lama. Tim SAR menekankan prioritas utama adalah keselamatan, memastikan evakuasi tidak menimbulkan korban tambahan akibat runtuhan susulan.
Komentar